Derita Cah Rantau, Manusia yang sudah Diikhlaskan Lingkungan Sekitar untuk Jarang Pulang

Cah Rantau, Pulang Jangan?

Intisari
  • Perantau itu STRONG karena terbiasa hidup mandiri, namun impian terbesarnya tetap pulang kampung

  • Lingkungan sekitar cenderung sudah terbiasa dengan ketiadaan kehadiran perantau di desa karena perantau biasanya tidak bisa hadir dalam momen-momen penting desa yang mengumpulkan banyak orang seperti pilihan kepala desa dll

  • Adanya Dana Desa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi seluruh elemen desa mulai dari perangkat desa, warga desa, sampai warga perantauan untuk memajukan desa melalui sinergi sehingga jargon Bali nDeso mBangun Deso bisa terwujud baik hadir secara fisik maupun tidak.


Kapan sampai kampung mas?
Wah, lagi pulang kampung to?
Pye kabare, lagi di kampung to?
Dan seterusnya..

Ini pertanyaan yang akan dijumpai oleh perantauan yang sedang pulang kampung.
Pertanyaan ramah dari warga sekitar rumah yang ingin menyapa Anda ketika pulang kampung.

Itulah enaknya di desa, saudara, tetangga, warga satu RT, warga satu RW, warga satu Dusun, masih senantiasa mengenal dan akrab dengan Anda.

Saya juga perantauan, pertanyaan itu sudah biasa saya dengar dan memang terkadang membuat kangen.
Namun setelah beberapa bulan ini di kampung, ada hal-hal lucu yang muncul di benak saya sebagai perantauan sejak masih SMA.

Saya di sini hanya sekadar sharing pemikiran dan apa yang saya rasakan sebagai perantau yang impian terbesarnya adalah pulang kampung hehe.

Siapa tau ada manfaat yang bisa Anda dapatkan dari tulisan saya ini.

Cah Rantau itu Strong tapi tetap Butuh Pulang

Pulang kampung adalah momen yang dinanti-nanti oleh perantau, setidaknya oleh saya.
Jauh-jauh hari sudah meneliti-neliti kapan tanggal merah dan hari libur, karena kebetulan jadwal pulang kampung saya memang harus disesuaikan dengan itu.

Di kampung saya rata-rata perantau sudah memulai petualangan perantauannya sejak usia belasan tahun. Ya Wong Wonogiri gitu lho.
Sudah terkenal Wonogiri adalah kota para kaum Boro alias Perantau, termasuk saya.

Teman-teman saya bahkan ada yang setelah lulus SD sudah merantau ke luar daerah. Bahkan ada yang nekat menjual sepeda onthelnya untuk modal. Dan sekarang dia berhasil di perantauan.

Saya belum tahu bagaimana detail perjuangannya saat masih merintis dulu. Pasti luar biasa.
Saya seperti orang-orang lain hanya tahu sekarang dia sudah cukup sukses secara finansial di perantauan.

Ada juga teman-teman saya yang bahkan perempuan memutuskan merantau setelah lulus SMP yang bahkan belum berumur 18 tahun dan masih disebut anak-anak oleh negara. Tapi ya seperti itu kenyataannya.

Tradisi merantau ini pada generasi saya seperti sebuah warisan yang tidak tertulis.
Setiap selesai sekolah ya merantau.

Kondisi ini kalau dilihat lebih dalam memang dikarenakan keadaan.

Jumlah lapangan pekerjaan di desa yang masih terbatas, daya beli masyarakat desa yang juga masih kurang jika dibandingkan kota menjadi beberapa faktor yang menyebabkan tradisi urbanisasi ini terus terwariskan.

Tidak berarti merantau adalah hal buruk, bahkan sebaliknya.
Banyak hal-hal baik yang menjadi efek dari merantau ini.

Salah satunya perantau akan menjadi manusia yang STRONG.
Mungkin Anda setuju mungkin juga tidak.
Kalau saya ya setuju. Karena jadi kaum perantau juga hehe.

Jadi begini, perantau itu yang pasti harus mandiri. Apalagi kalau merantau seorang diri, dalam arti tidak bersama keluarga terdekat.

Saat Anda lapar ya cari makan sendiri, saat Anda ngantuk ya cari tempat istirahat sendiri, saat Anda sakit ya cari pertolongan sendiri.

Perantau pasti sudah familiar dengan kondisi-kondisi ini.
Apa kira-kira yang menyebabkan perantauan bertahan dan terus memotivasi diri untuk tetap STRONG?

Pulang kampung, itulah jawaban saya sebagai perantau.
Mungkin Anda memiliki jawaban sendiri. Tapi saya rasa kalau ditelisik lebih dalam lagi, ujung-ujungnya akan mengerucut ke sana, Pulang kampung.

Entah Anda ingin membawa kesuksesan ke kampung, entah Anda ingin membangun rumah di Kampung, entah Anda ingin membiayai keluarga di kampung, tetapi impian terbesar perantau menurut saya tetaplah pulang kampung.

Setuju tidak? hehe

Ironi Cah Rantau yang Ingin di Rumah Aja tapi Lingkungan Sekitar sudah Ikhlas kalau Dia tidak Pulang

Loh, tumben di kampung lama mas?
Belum balik ke perantauan mas?

Pertanyaan itu beberapa waktu lalu sering menghampiri saya. hehe
Saya mulai terbiasa menjawabnya.

Meskipun lama-lama jadi terpikir oleh saya apakah memang saya diharapkan untuk merantau terus. Hehe
Saya jadi tersenyum sendiri merasa lucu sendiri.

Kemudian saya beropini bahwa perantau itu sudah diikhlaskan oleh lingkungannya untuk terus di perantauan dan jarang pulang. Meskipun opini saya berlebihan, tapi lucu saja.
Kalau dilihat lebih dalam, perantau memang jarang di rumah.

Dia tidak ada di rumah ketika banyak momen penting di kampung.
Pilihan kepala desa, ronda pas musim maling, panen raya, dan momen-momen lain yang menjadi pusat berkumpul warga desa.

Wajar saja bahwa kehadirannya perlahan mulai dianggap tidak ada. Hehe
Tapi kenyataannya juga tidak sekejam itu.

Masyarakat sekitar masih menganggap keberadaannya. Buktinya ketika pulang kampung para perantau juga masih disambut dengan hangat saat mengikuti kegiatan-kegiatan desa.
Bahkan cenderung cukup dihormati.

Dari kondisi ini saya beropini lagi, apakah ada harapan tertentu dari warga desa non perantau kepada para perantau ya.

Bagaimana jika perantau bisa memberikan efek nyata kepada warga non perantau di desa? Pasti kehadirannya akan senantiasa terasa meskipun tidak secara fisik di sana.

Sehingga kerukunan dan kekompakan yang menjadi budaya warga desa terus terjaga sampai masa depan nanti. Dan selalu menjadi tempat impian para perantau, yaitu pulang kampung.

Kabar baiknya, tren merantau beberapa tahun belakangan ini mulai seimbang.
Artinya, tidak semua pemuda bercita-cita menjadi perantauan.

Dengan perkembangan teknologi informasi, perkembangan perekonomian masyarakat benar-benar berkembang.

Sekarang di desa banyak yang sudah pandai memanfaatkan teknologi informasi untuk mendapat penghasilan.

Ada yang berjualan baju Online, ada yang berjualan mete Online, belakangan ini ada kelompok pemuda yang memanfaatkan peluang ini untuk berjualan bibit tanaman yang perkembangannya sangat bagus.

Ini adalah perkembangan yang sangat positif. Lapangan kerja mulai terbuka, daya beli masyarakat naik, peluang jualan makin terbuka.

Tren Membangun dari Desa dan Potensi Cah Rantau Mulih nDeso mBangun Deso

Beberapa tahun ini semenjak euforia Dana Desa muncul, kita bisa melihat baliho-baliho besar di setiap kantor Desa mengenai APBDes.
Jumlahnya tidak main-main, ada yang hampir 2 M atau paling sedikit ada yang sedikit di bawah 1 M.
Ini dana yang banyak untuk ukuran satu desa.

Pembangunan desa di tahun-tahun awal bergulirnya Dana Desa (Dana Desa mulai 2015) masih seputaran pembangunan infrastruktur.
Namun seiring sudah mulai terpenuhinya infrastruktur di Desa, maka pembangunan nantinya tentu akan dialihkan menuju sektor yang lebih mengarah pada pemberdayaan ekonomi.

Karena tujuan utama Dana Desa adalah pengentasan kemiskinan.
Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi warga desa termasuk para perantau.

Bagaimana peluang ini menjadi gelanggang untuk perantau guna membantu desanya mencapai kesejahteraan meskipun dari jarak jauh.

Sedikit banyak, perantau pasti memiliki pengalaman lebih mengenai kota dibandingkan warga yang belum pernah merantau (dengan tidak mengecilkan keahlian warga desa).

Pengalaman di sini tidak berarti perantau lebih memiliki skill dibanding non perantau, tetapi pengalaman yang dimaksud adalah bagaimana peluang-peluang di kota yang belum ada di desa bisa dihadirkan di desa.

Pun demikian dengan warga desa yang lebih memahami desanya, pasti lebih memiliki pengalaman bagai mana potensi pasar di daerahnya.
Sinergi antara warga desa dan perantau ini kemungkinan besar akan menjadi motor penggerak pembangunan desa beberapa tahun ke depan ini.

Sekarang tinggal bagaimana kita menghubungkan dua simpul ini supaya menjadi ikatan yang kuat yang mampu untuk menarik desa menuju kemajuan dan kesejahteraan.

Sehingga pada akhirnya para perantau tetap bisa Bali nDeso, bangun Deso baik secara fisik hadir maupun tidak.

Kalau saya pribadi ingin secara fisik. Meskipun sampai sekarang belum menemukan jalan yang pas untuk mewujudkannya. tetapi saya terus berusaha. 
Barangkali Anda punya ide dan mau menawarkan kerjasama?Hehe

Panjenengan pripun?

Wallahu a’alam