Orang Dewasa yang Membuat Standar Kebahagiaan Anak jadi Rumit?

 

kebahagiaan anak-anak
Photo by Annie Spratt on Unsplash

Kalau melihat anak-anak sedang guling-guling dengan bahagia di atas air yang tumpah di lantai, apa yang orang dewasa lakukan pada umumnya? Melarang,


Kalau anak-anaknya sedang mengangkut pasir dengan truk mainannya ke lantai teras?

Kadang saya sebagai “orang dewasa” secara spontan juga akan melarangnya.


Kemudian ketika ke toko mainan, saya sebagai orang tua seringkali berusaha memilihkan mainan yang paling bagus menurut saya.

Memaksakan pendapat saya kepada anak.


Nyatanya, dia malah memilih mainan sederhana. Dia bahagia.


Saya jadi kepikiran, apa jangan-jangan secara tidak sadar saya sedang membentuk standar kebahagiaan yang salah dan rumit kepada anak saya ya?


Bagaimana kalau pendekatannya saya ubah?

Anak guling-guling di atas lantai yang basah, saya biarkan sementara agar dia bahagia. Lalu saya akan berikan pengertian tentang bahaya kalau terpeleset.


Saya juga menunjukkan bagaimana serunya membersihkan air itu kepada dia, tanpa melarang kebahagiaannya yang sederhana sebelumnya.


Saat anak saya mengangkut pasir ke teras, saya akan coba membiarkannya menikmati kebahagiaan itu. 

Lalu saya akan menunjukkan bagaimana serunya jika mengangkut pasir itu kembali ke tempatnya.

Tanpa melarang kebahagiaannya yang sederhana sebelumnya.


Saat membeli mainan, saya akan membiarkan dia berimajinasi dengan kebahagiaannya yang sederhana. 

Jika memang saya perlu memberikan mainan yang lebih besar atau lebih mahal saya harus benar-benar tau goal apa yang saya inginkan dari mainan itu. 

Bukan karena itu bagus atau itu mahal.


Saya ini bukan ahli parenting.

Ini semata-mata karena pikiran saya yang tergelitik.


Jangan-jangan yang mengubah standar kebahagiaan anak adalah orang tuanya.

Saya membaca, masa balita akan membentuk sebagian besar kepribadian seseorang di masa dewasanya.

Saya lupa sumbernya. Tapi saya mempercayainya.


Orang tua memang diberi hak khusus untuk “menciptakan tulisan” pada anak. Yang menanamkan dasar tauhidnya.


Jadi sekali lagi, jangan-jangan orang tua juga yang menciptakan standar-standar kebahagiaan seorang anak.

Akan bahaya kalau standar kebahagiaan yang diciptakan ini salah dan rumit. Anak akan sulit bahagia. Lha bagaimana, standarnya rumit kok.


Saya berusaha ikut menikmati standar kebahagiaan sederhana anak saya.

Justru saya belajar dari dia.

Dia yang masih begitu murni, begitu sederhana, begitu jujur dan otentik.


Wonogiri Sukses