Lebaran di Perantauan, Pengalaman Pertama (Pra Lebaran)

Idul Fitri masa Pandemi
Lebaran Photo via unsplash.com



Lebaran tahun ini berbeda bagi saya. Tahun ini sepertinya benar-benar tidak bisa mudik. Mungkin ada yang sudah dua kali lebaran malah.

Saya baru pertama, tahun lalu saya lebaran di kampong halaman karena memilih merumahkan diri beberapa bulan sebelum Ramadhan.

Tahun ini berbeda, sudah kembali merantau bersama keluarga kecil. Tidak jauh sebenarnya, berjarak 4 jam dari kampong halaman. Tapi beda provinsi, jalan disekat. Tidak bisa mudik.

Ini pertama kalinya seumur hidup.


solat idul fitri masa pandemi
Idul Fitri Masa Pandemi via Unsplash.com


Tidak lebay, hanya fakta saja. Saya baru pertama kali (jika jadi) solat idul fitri di luar Wonogiri sejak saya ingat. Waktu bayi tidak dihitung. Berarti sejak 25 tahun.

Saya pernah dengar cerita beberapa teman. Mereka yang mendengar takbiran di perantauan katanya secara sadar dan tidak sadar akan menangis. Apa nanti saya alami ya?

Mungkin akan sedikit berbeda. Sekarang bisa video call. Bisa grup video call. Jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Tapi ya let’s see.


Waktu terus ke depan, tapi kita kadang harus lihat ke belakang.

Tiga tahun berlalu, kami membangun keluarga kecil ini. Saya dan istri, dan dibersamai dengan anak kami.

Kalau dijalani sambil memikirkan masa depan, tidak terasa. Kalau dilihat ke belakang, terasa tiga tahun itu.

Saat melihat ke belakang, saya juga semakin sadar. Waktu berjalan bukan Cuma untuk saya. Berlaku sama, untuk semua.

Orang tua juga bertambah usianya. Anak juga bertambah usianya. Ternyata melihat ke belakang memberi tambahan kesadaran hidup untuk saya.


Sebagai perantau, pulang itu tetap sebuah cita-cita

Rumah di desa
Rumah di desa via unsplash.com


Wonogiri sudah terkenal dengan kaum boro nya. Kaum perantau. Saya juga termasuk.

Apakah memang persentase perantau lebih banyak dari wilayah lain ya?

Macam-macam perjalanan para perantau Wonogiri. Ada yang “sukses” di perantauan. Ada yang “sukses” saat kembali pulang. Sukses ini saya maknai berdasar persepsi masyarakat umum.

Kalau saya sendiri, sampai saat ini masih punya cita-cita yang sama. Sukses di Wonogiri. Sukses di sini saya maknai dengan persepsi saya sendiri. Tidak persis seperti persepsi masyarakat umum.

Sukses versi saya sedikit mirip dengan konsep ikigai. Tidak sama persis.

Kembali ke topic, jadi lebaran tahun ini bagaimana rasanya ya? Semoga selanjutnya selalu bisa berlebaran bersama keluarga besar.

 

Mulai tulisan ini saya akan selalu menuliskan frasa ini di akhir:

Wonogiri Sukses